Seminggu kemudian…
Kejadiannya sebenarnya sepele, tapi Ivo dan Shiva punya watak keras kepala yang sulit ditaklukkan meskipun Arlin sudah berulang kali mengirimkan SMS permohonan maaf dan penjelasannya. Bahkan telepon dari Arlin pun tidak dijawab.
Merasa diperlakukan kurang adil oleh kedua temannya, Arlin ikut-ikutan sewot dan malas berurusan lagi dengan mereka meskipun hati kecilnya terasa sakit. Akhirnya, dia putuskan untuk bicara secara langsung dengan Ivo dan Shiva saat break kuliah. Pembicaraan yang terakhir. Kalau mereka masih nggak mau terima penjelasannya… ya udah, it’s over!
“Gue bener-bener nggak ada maksud untuk bohong ke kalian. Gue menolak tawaran menginap di Malang sama kalian itu pure karena gue pengin ngelanjutin bab terakhir dari teenlit yang lagi gue garap, tapi hari itu Jaden datang ke rumah dan ngajak gue makan dengan keluarganya. Terus, gue ajak dia ke BNS untuk nemuin kalian, tapi kalian nggak ada yang bisa dihubungi…”
Shiva masih cemberut, masih merasa dibohongi oleh sahabat baiknya. Dalam pandangannya, Arlin sengaja tidak ikut dengan rombongan mereka ke Malang, bermaksud berduaan dengan Jaden.
Huh! Lebih mentingin pacar ketimbang temen!
Sementara Ivo mulai manggut-manggut menerima penjelasan Arlin.
“Kalo kalian masih nggak percaya, silahkan tanya Jaden sendiri,” ungkap Arlin yang mulai pasrah.
Ivo sedikit tersenyum, lalu menepuk pundak Arlin sebagai respon friendly. “Oke, gue ngerti. Hari itu juga, pas masih pagi, Jaden telepon gue dan tanyain alamat rumah lo. Katanya, ada hal penting dan dia nggak bisa hubungin lo…”
“Itu karena ponsel gue lagi direparasi,” sambung Arlin. Matanya kembali berbinar melihat sahabatnya yang mulai percaya.
Ivo mengangguk. “Dan waktu di BNS itu ponsel gue ada di tas yang lagi dijambret, jadi gue nggak bisa angkat telepon dari kalian.”
Arlin tersenyum. “So?”
Ivo melirik ke arah Shiva. “Sampai kapan lo mau terus-terusan jutek kayak gini, Va?”
Shiva angkat bahu, malas menjawab ucapan sahabatnya.
“Lo kan udah denger penjelasannya Arlin, masa’ lo masih mau keras kepala kayak gini?”
Shiva melempar kekesalannya pada Ivo. “Kan udah gue bilang, harusnya kita nggak perlu pura-pura begini terus. Lo juga ‘kan yang nyuruh gue akting jutek ke Arlin!”
Ivo terkekeh. Arlin mulai bingung. “Maksud lo apa, Va?”
Ekspresi Shiva mendadak berubah. “Sorry ya, tapi kita pikir elo nyembunyiin status relationship lo dengan Jaden…”
“What?!”
Ivo merangkul pundak Arlin. “Jadi, kapan gue sama Shiva ditraktir?”
Arlin mencubit gemas pinggang kedua temannya. “KALIAN INI!!! Bikin gue takut aja!!! Ngomong dong kalo ini cuma pura-pura!”
Shiva dan Ivo tidak bisa menghentikan tawa mereka. Tapi kemudian keduanya tiba-tiba terdiam melihat sosok di belakang Arlin. Sosok yang tidak mereka kenal dan terkesan judes plus perfeksionis seperti pujaan hati Arlin. Arlin segera menoleh mengikuti pandangan teman-temannya. Sama seperti Shiva dan Ivo, Arlin melongo begitu tahu siapa yang sedang tersenyum sinis padanya saat ini.
“Hai Arlin, ada waktu untuk bicara?” Erika Wijaya setengah mati mencoba beraksen ramah untuk menciptakan imej baik dirinya di depan warga kampus Olympus. “Gue mau omong-omong soal Jaden…”
Arlin menelan ludah. Dirinya tahu soal popularitas Erika yang terkenal ‘parah’ dari Stephanie, sepupunya yang satu kampus dengan Erika. Jutek, judes, materialistis, sombong pula! Pokoknya rugi banget deh kalo lo sampe kenal sama dia!
Dan kini Erika datang ke Olympus secara khusus untuk ketemu dengan dia? Bicara soal Jaden?
Shiva dan Ivo berbisik pamit pada Arlin, membiarkan Arlin dan tamu istimewanya mendapat ruang spesial untuk saling bicara.
“Ada apa dengan Jaden?” ujar Arlin sambil berusaha menahan rasa takut-minder-nya di depan manusia tipe high society itu.
Erika tersenyum (masih dengan sinis!), puas melihat mangsanya cemas dan takut padanya, merasa punya kemudahan absolut untuk ditaklukan.
“Jadi lo belum tau soal harta warisan Opa-Oma gue yang empat puluh lima persen dihibahkan ke pacar lo?” ungkap Erika to the point. Baginya, ngomong basa-basi dan mengungkapkan pengantar pembicaraan inti ke anak kecil macam Arlin bukan tindakan yang tepat untuk menguraikan energi positif (baca : energi over PD) untuk jam-jam selanjutnya di sepanjang hari ini.
“Maksud lo?” Arlin enggan menggunakan bahasa formal untuk lawan bicaranya yang lebih tua kali ini. Bisa jatuh harga diri gue kalo gue kelihatan tunduk sama orang ini!
“Huh! Bener ‘kan feeling gue kalo Jaden nggak pacaran sama anak ini,” gumam Erika.
Arlin semakin curiga. “Sebenarnya apa hubungan gue dengan harta warisan itu? Kalo Jaden dapet banyak bagian, yaa… gue bersyukur aja…”
“Oke, dia memang cucu kesayangan Opa-Oma gue yang dapat harta paling banyak, tapi—“
“Hah! Baguslah! Gue harap kedatangan lo ke sini nggak bermaksud untuk menyuruh gue protes ke Jaden demi penambahan jumlah harta warisan lo. Gue maklum kalo lo nggak dapat sebanyak Jaden…”
“Sialan!” Erika meremas pipi Arlin. “Gue belom selesai ngomong! Jadi anak jangan ketengilan deh!”
Pacar lo tuh yang kelewat tengil!
Arlin menghempaskan tangan Erika dengan kasar. Kali ini dia nggak bisa kasih kesabaran lagi dengan cewek berambut pirang itu. Memangnya sejak tadi gue sabar?
“Lo bisa diusir satpam gara-gara nyakitin gue!” ancam Arlin.
Erika melemparkan pandangan so-what-nya yang bikin Arlin mual. “Gue kasih tau ya, Jaden sebenarnya manfaatin lo untuk dapat harta warisan itu. Jangan lo kira dia mulai suka sama elo lantas dia datang ke rumah lo, jemput lo, lalu bawa lo ke rumah keluarga Wijaya. Inget ya, acara makan-makan siang itu sebenarnya acaranya Opa-Oma gue. Mereka ingin mewariskan harta warisannya kepada cucu-cucu mereka yang punya pasangan hidup. Jadi Jaden pura-pura ngajak lo pacaran dan… TARA!!! He got it!”
“Lo jangan mengarang cerita murahan deh…” imbuh Arlin.
Erika semakin emosi. “Gue nggak se-tolol itu, honey…”
“Terus?” Arlin sengaja memancing emosi Erika. Sebenarnya dalam hati dia menelan bulat-bulat apa yang dikatakan Erika, tapi demi menjaga eksistensi dirinya di depan orang nyebelin macam Erika, berlagak sombong kayak bangsawan pun Arlin rela.
Erika tertawa keras. “Terus?” dia menatap wajah polos Arlin, lalu bergantian menatap wajah adiknya yang baru datang ke tengah pentas pertunjukkan mereka. “Mungkin lo bisa jelasin baik-baik, Jad!”
Arlin menoleh ke arah belakangnya. Jaden tengah berdiri sambil menahan geram ke arah Erika, lebih mengerikan ketimbang tragedi es krim tumpah sewaktu di BNS.
“Mendingan lo pergi dari sini sekarang juga sebelum gue panggil satpam kampus,” ujar Jaden dingin.
Erika tersenyum puas. Niatnya menghancurkan hubungan Jaden dan Arlin berhasil. Tawa kemenangan pun mengisi langkahnya ketika berlalu dari hadapan Arlin dan Jaden.
“See ya!”
Erika bahkan nggak peduli kalau sapaannya diacuhkan Jaden dan Arlin yang tengah mematung. Keduanya kembali sunyi seperti waktu berduaan di dalam Nissan X-Trail milik Jaden.
Arlin menarik napas dalam-dalam, berusaha mencerna semua percakapannya dengan Erika barusan. Kini tangannya berani merambat menggenggam jemari Jaden, bermaksud minta penjelasan dengan tenang tanpa campur aduk kemarahan. Arlin tahu, emosi Jaden akan sangat mengerikan saat meledak, dan dia nggak mau jadi korban ke dua (setelah Shiva) di kampus itu.
“Gue nggak harus percaya omongannya Erika ‘kan?”
Jaden bergeming. Pelan-pelan dilepaskannya genggaman Arlin, lembut namun terasa menyakitkan buat Arlin.
Jaden menahan napas, berusaha se-diplomatis mungkin untuk menyebar penjelasan panjang-lebar yang dia sendiri nggak yakin kalau Arlin akan menerimanya tanpa emosi.
“Erika benar. Gue ajak lo ke rumah waktu itu, untuk memenuhi syarat dari Opa dan Oma, gue akan dapat harta warisan itu kalo gue punya pacar.”
Arlin mengepalkan kedua tangannya, masih menahan diri untuk dengar baik-baik penjelasan Jaden.
“Gue nggak mau Erika dapat bagian paling banyak hanya karena dia udah tunangan dengan pacarnya, gue nggak bisa biarin harta leluhur gue jatuh ke tangan orang yang nggak bertanggung jawab seperti dia, dan satu-satunya cewek yang bisa bantu gue cuma elo. Dulu lo pernah minta bantuan gue kerjain tugas, jadi gue pikir… gue bisa minta bantuan lo juga…”
“Dan elo sama nggak bertanggung jawabnya dengan dia…”
Jaden mengerutkan kening. Nggak ngerti maksud ucapan Arlin.
“Masih belum paham, Jad?”
Arlin menarik napas dalam-dalam, mengatur keseimbangan, adrenalin, dan kekuatan, lalu matanya bertumpu pada satu titik yang penting.
PLAKKK!!!
Jaden mengusap pipi putihnya yang segera memerah. Dipandanginya Arlin yang mulai tampak kesal dan bersiap untuk pukulan kedua. Jaden segera bersiap, namun Arlin mengurunkan niatnya. Dia sadar, dia bukan lawan tandingan Jaden.
“Lo bikin gue kesel, Jad!”
Jaden melangkah maju tanpa sungkan. Kini jaraknya dengan Arlin cuma sekian senti dan menjadi kasak-kusuk kerumunan orang yang mulai menonton aksi mereka, termasuk Ivo dan Shiva.
“Maksud lo, gue permainin perasaan lo?”
Arlin ingin menangis, tapi amarahnya semakin membungkam kantung air matanya agar tidak tumpah.
“Lo bahkan nggak peduli sama gue, but anyway… thanks buat jalan-jalannya waktu itu. Gue ngerasa nggak rugi menjatuhkan es krim ke kemeja lo yang mahal itu…”
Arlin berbalik dan beranjak pergi, namun Jaden berhasil menangkap tangannya.
“Lo nggak beneran suka sama gue ‘kan, Ar?”
Arlin menghempaskan tangan Jaden, segera berlari menyingkir dari panggung sandiwara murahan dirinya dengan Jaden. Orang-orang di sekitar mulai menyoraki Jaden seperti biasanya mereka menyoraki dua kubu yang baru berkelahi. Siapa saja yang kalah, akan disoraki dengan cemoohan.
Dan kali ini Jaden kalah telak.
***
Berita kekalahan Jaden menyebar ke seluruh teman-teman satu angkatannya. Ivo dan Shiva cuma bisa menghibur hati Arlin yang kecewa berat setiap kali mengingat tampang cute-smarty Jaden.
Sudah satu minggu setelah kejadian Erika mampir ke kampus Olympus, Jaden bolos kuliah. Andre yang bertugas memalsukan tanda tangannya setiap absen bergilir, cuma bisa membocorkan kemana sahabatnya itu pergi untuk sementara waktu pada Shiva, Ivo, dan juga Arlin.
“Jangan-jangan dia bunuh diri, Ar!” ujar Shiva yang memang suka mendramatisir keadaan.
“Hush! Ngaco lo!” protes Arlin. “Anak gila harta warisan gitu mana mungkin bunuh diri kalo duit ada di tangannya?”
Ivo manggut-manggut setuju. “Tapi ngapain dia ke Singapura pas ada jadwal kampus begini? Nggak biasanya ‘kan anak itu absen satu minggu full?”
“Hei! Dia bakal balik hari ini kok!” ralat Andre. “Buat kalian-kalian yang udah kangen sama tampang crown prince-nya, tenang aja, sebentar lagi dia muncul di depan kita!”
Ivo menginjak kaki Andre. “Enak aja! Siapa yang bilang kalo kita kangen sama dia?! Arlin tuh yang kangen! Suaminya nggak pulang-pulang, nggak ngasih nafkah!”
Gantian Arlin yang menginjak kaki Ivo. “Hey! Kalo ngomong hati-hati ya mbak! Yang khawatir sama Jaden ‘kan cuma si Shiva. Dia takut kalo anak itu mati bunuh diri!”
Shiva mendelik sewot. “Oh, jadi lo jealous, Ar?”
Tawa empat sekawan itu pecah seketika.
“Jadi lo nggak marah lagi sama dia, Ar?” tanya Andre antusias.
Arlin menggeleng. “Gue terlalu naïf untuk nggak marah sama dia. Tapi gue emang nggak bisa marah sama dia, makanya gue kesel….”
“Gimana mau marah kalo cinta setengah mati?” ledek Shiva.
“Oh, jadi lo jealous, Va?” kali ini Arlin membalikkan ucapan Shiva.
Mereka berempat hampir kembali tertawa saat tiba-tiba melihat kedatangan Jaden yang bagaikan orang asing di Universitas Olympus. Nggak cuma Andre, Shiva, Ivo, dan Arlin yang melongo, tapi mahasiswa lain yang kebetulan berpapasan dengan Jaden, memperhatikannya seolah-olah dia spesies baru di kampus itu.
“Jadi kalian ikut-ikutan mandang gue seperti mereka? Memangnya gue teroris?” sapa Jaden.
Andre menyambut kedatangan sahabatnya dengan sebuah pelukan akrab. Kemudian dia memberi isyarat pada Shiva dan Ivo untuk meninggalkan Arlin dan Jaden berdua.
“Kali ini gue mau bicara tanpa harus emosi kayak minggu lalu, gue mau lo jangan men-judge gue sebelum gue selesai kasih penjelasan,” sahut Jaden sambil mengacak rambut Arlin.
Arlin hampir saja sewot dengan tingkah Jaden yang ‘berani mati’ itu, tapi dia nggak bisa menyembunyikan perasaannya yang cukup senang diperlakukan manja seperti itu.
“Semoga aja gue bisa tahan emosi…”
Jaden tersenyum. Digenggamnya jemari gadis di depannya itu dan diajaknya berkeliling santai mengitari halaman kampus yang luas. Arlin nggak berharap lebih, tapi dia sungguh menantikan momen ini, saat dimana Jaden menggenggam tangannya dan membuat iri semua jomblowati kampus. Tapi Arlin segera tersadar, Jaden nggak mungkin ‘menembaknya’ seperti yang diidam-idamkannya selama ini. Kenyataan yang membuktikan Jaden seperti manusia nggak bertanggung jawab yang memanfaatkan cewek cuma demi mendapatkan harta warisan masih belum bisa pudar dari ingatan Arlin. Jaden sudah termasuk cowok kriminal di otaknya.
“Jujur aja, setelah lo menampar gue waktu itu, gue nggak bisa tidur memikirkan tingkah konyol gue. Using every kinds of way to reach an important stuff…”
Arlin meringis mendengar gaya bicara Jaden. “Important stuff?”
Jaden mengangguk. “Gue belum cerita ya? Sejak kecil gue punya cita-cita bergabung di dunia saham seperti yang mendiang Papi gue lakuin.”
Arlin berhenti mendadak, menatap wajah teduh Jaden yang setengah pedih mengingat masa lalunya.
“Kalo lo sebut gue ini orang yang gila harta dan uang, gue akui itu benar. Tanpa itu, gue nggak punya modal untuk masuk ke jajaran share holder di pasar saham. Dan gue nggak akan diam aja kalau merasa tanda-tanda masa depan gue mulai kelam.”
Arlin mengangguk setuju. “Lalu kakek-nenek lo datang menawarkan bantuan dengan syarat yang sedikit impossible bagi lo.”
Jaden tertunduk malu. Arlin sudah mengerti inti ceritanya dan tidak perlu dijelaskan lagi panjang lebar.
“Gue berteman dengan Ivo, gue juga berteman dengan Shiva. Tapi gue yakin, cuma lo yang nggak akan menolak tawaran gue untuk makan bareng keluarga gue di rumah. Sorry kalo gue nggak ngasih tau ini lebih awal. I’ve made you broken…”
“Yeah, gue juga ke-ge-er-an dengan tingkah spontanitas lo,” Arlin menyodorkan tangannya ke arah Jaden. “Sorry kalo perasaan suka gue ke elo mengganggu pikiran lo selama ini. Tapi purely, gue suka lo tanpa embel-embel harta. Dan kalo lo tolak perasaan ini, kita masih bisa jadi teman ‘kan?”
“Hey! Gue ‘kan belom selesai ngomong!” Jaden enggan menjabat tangan Arlin. “Lo belum tau alasan gue pergi ke Singapura selama satu minggu ‘kan?”
“Apa gue perlu tau? Kalo cuma cerita bahagia lo belajar saham di sana sih… gue nggak interest…” sahut Arlin jahil.
Jaden mendelik kesal. “Kalo gitu gue nggak perlu cerita…”
“T-E-R-S-E-R-A-H,” tantang Arlin.
“Jadi ceritanya lo balas dendam sama gue?”
Arlin nggak bisa menyembunyikan kepura-puraannya lagi. Jaden benar-benar sulit membuatnya marah.
“Lo bikin gue susah, Jad. Gue mau marah, tapi nggak bisa. Mau nangis, tapi susah. Gue kesal sama diri gue sendiri tau! Cewek macam apa yang nggak bisa marah padahal cowok yang ditaksirnya udah bikin dia sakit hati…”
Jaden tertawa kecil. “Tapi gue berterimakasih banget ke elo. Sehari gue di Singapura, gue terus terang ke Opa-Oma tentang hal yang sebenarnya. Mulanya mereka kecewa berat, sama kayak lo. Tapi setelah gue putusin untuk mengembalikan harta warisan gue ke mereka, mereka mendadak diam dan nggak ngerti harus berbuat apa.”
“APA? Lo mengembalikan semua harta dari mereka?”
Jaden mengangguk.
“Gue bisa terus-terusan mimpi buruk kalo nggak ngelakuin hal itu.”
“Terus?? Gimana dengan permainan saham yang lo cita-citain itu??”
Jaden membersihkan teras gedung Farmasi yang sepi pengunjung. Diajaknya Arlin duduk di sebelahnya tanpa peduli dengan bisikan sinis dari mahasiswa lain yang kelihatannya pernah menjadi saksi drama bombay mereka minggu lalu.
“Gue pikir, gue akan sama aja kayak Erika kalo cuma nadahin modal dari leluhur. Gue mau sama kayak Cedric yang usaha sendiri untuk cari modal usaha showroom mobilnya di Aussie.”
“Wow! Cedric—kakak pertama lo itu?”
“Yep! Dia bahkan nggak mau dateng ke Indo waktu Erika kasih tau akan ada pembagian harta warisan dari Opa sama Oma.”
Arlin merasa kagum. Jaden si fridge man yang terkenal seperti golden boy yang sering berlagak a la pangeran Inggris ternyata punya niat tulus seperti Cedric kakaknya. Rasa kesal Arlin mulai pudar. Jaden memang bersalah, tapi dia segera aware dan bertobat dengan khilaf.
“Hey Ar, apa lo masih mau dengar cerita gue di Singapura?” tegur Jaden hangat.
“Oh? Masih ada?”
“Ini bagian pentingnya. Opa sama Oma memaafkan gue. Mereka minta waktu untuk memikirkan kebijakan yang pas untuk harta-harta itu. Dan mereka minta gue menyerahkan ini…” Jaden merogoh saku kemejanya dan menyembunyikan benda mungil di balik kepalan tangannya. “…untuk lo.”
Arlin membuka tangan Jaden dengan ragu-ragu, matanya berbinar terharu saat melihat benda kecil di telapak tangan Jaden. Segera diraihnya cincin putih dengan ornamen tiga bintang di sisinya, mirip cincin yang di drama-drama Korea, manis dan lucu. PERFECT!
“Butuh waktu empat hari untuk cari yang seperti itu. You must be thankful to me…” melihat antusiasme yang muncul di wajah Arlin, Jaden kembali membesarkan gengsinya. Tapi Arlin nggak bisa dipermainkan lagi. Dia meletakkan cincin itu kembali ke tangan Jaden.
“Tapi lo masih bikin gue kesal…”
Jaden mengerutkan keningnya. “Apa lagi?”
“Lo anggap perasaan gue cuma sebesar cincin ini?”
“Tapi setengah mati gue cari ini, Ar…” tatapan kecewa Jaden bikin Arlin ingin tertawa ngakak.
“Yeah, tapi bukan berarti gue nolak hadiah dari kakek-nenek lo kan?”
Jaden menghela napas. “Jadi sebenernya apalagi yang mesti gue lakuin supaya lo nggak kesal lagi sama gue?”
Arlin tersenyum puas. Disodorkan jemari kanannya pada Jaden, bermaksud membuat cowok itu mati kutu demi memasukkan cincin andalannya ke salah satu jari Arlin.
“Ayo tebak, muat di jari mana cincin ini. Kalau berhasil, gue akan maafin lo…”
Jaden menunda aksi protesnya. Cepat-cepat diperhatikannya lubang diameter dari cincin yang tengah dipegangnya, lalu dipilihnya jari-jari Arlin dengan seksama. Kali ini dia nggak mau gagal dan nggak mau salah lagi pada Arlin. Pikirnya, ini kisah penutup yang cukup manis untuk masalah yang nggak bisa disepelekan seperti di hari Valentine itu.
“I won’t do my fault anymore…” santai tapi tegas, Jaden memasukkan cincin bintang itu ke jari telunjuk Arlin. “Then… thanks for your love… mungkin suatu hari nanti, saat gue nggak merasa risih dengan tingkah konyol gue, kita bisa jalan-jalan lagi kayak gini, more naturally…”
Jaden bangkit dari duduknya, merasa memiliki pandangan akan masa depan yang lebih positif dan semangat. Sedikit hatinya puas dengan sifatnya yang mulai berubah. Setidaknya sekarang dia bisa membuat salah satu temannya memaafkan kesalahannya, bukan seperti Erika yang menabur keki dan menuai cemoohan dari orang-orang di sekitarnya.
The best treasure I’ve already reached, the most important stuff in this world, LOVE….